ANALISIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
Abstract
Putusan Arbitrase bersifat final and binding artinya putusan tersebut tidak dapat dimintakan upaya hukum seperti banding dan kasasi dan putusan tersebut mengikat bagi para pihak untuk dapatuhi secara suka rela dengan itikad baik karena sebelum putusan dibuat mereka juga telah sepakat untuk menyelesaikannya melalui jalur arbitrase dengan segala konsekuensinya. Dengan disahkannya Undang-undang arbitrase diharapkan pelaksanaan arbitrase di Indonesia akan semakin baik karena adanya jaminan bahwa putusan suatu arbitrase baik nasional maupun internasional pasti dapat dilaksanakan di Indonesia. Akan tetapi sebenarnya masih terdapat beberapa masalah dalam undang-undang tersebut salah satunya dalah mengenai pelaksanaan putusan arbitrase
Klausula arbitrase yang tertuang di dalam perjanjian bisnis yang mengikat kreditor dan debitor pada prinsipnya dapat dijadikan dasar untuk menghentikan proses pengajuan permohonan kepailitan terhadap debitor atas dasar prinsip dalam UU Kekuasaan Kehakiman, UU Arbitrase, asas Pacta Sunt Servanda dan asas kebebasan berkontrak. Kewenangan pengadilan niaga untuk mengenyampingkan klausula arbitrase yang tersirat di dalam Pasal 303 UU Kepailitan jika dikaitkan dengan prinsip Commercial Exit from Finansial Distress dalam hukum kepailitan justru berpotensi untuk melahirkan kesewenang-wenangan kreditor terhadap debitor yang beritikad baik untuk membayar utang-utangnya, termasuk dapat merugikan kreditor lainnya yang memiliki tagihan relatif kecil.